KETIKA LEMBAGA PENDIDIKAN NEGERI KURANG LAKU

Oleh : Muhammad Ali Zubair
(Rakyat Pemerhati Pendidikan)

https://www.facebook.com/reel/1215138282428916?mibextid=rS40aB7S9Ucbxw6v

Saya mendapatkan unggahan link berita diatas, disalah satu group, teman-teman pasca PAI UMM, setelah saya baca, cukup mengejutkan, karena tangisan itu bukan sekedar karena tidak ada murid yang mendaftar, tapi yang seharusnya menjadi tangisan muhasabah atas setiap pemangku pendidikan, khususnya para pemimpin negara sebagai penyelenggara dan penanggung jawab pendidikan nasional.

Di zaman 4.0 ini, para calon walimurid mulai cerdas dibandingkan zaman dulu, kalau dulu penilaian mereka sekolah negeri itu selalu berkualitas dan murah biayanya, Tapi kenyataannya tidak sedikit lembaga pendidikan negeri yang “gagal” dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana amanat undang undang No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab.

Kita lihat beberapa Lembaga pendidikan banyak “bermasalah”, khususnya lembaga Pendidikan negeri harus berbenah dan intropeksi, karena saya mencatat banyak hal yang bisa dianggap “kesalahan” dalam pola dan sistem yang kurang tepat.

Diantara masalah yang harus dibenahi dan diperbaiki, diantaranya ;

  1. Jenjang akademik terlalu lama, tanpa mempertimbangkan nilai prioritas ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayahnya, sehingga banyak anak-anak didik yang sudah baligh, tapi tidak paham, bahkan tidak hafal rukun iman dan islam. Belum lagi mereka yang tidak bisa mengaji dengan baik dan benar, tidak paham sholat yang sesuai syariat.
  2. Semua anak didik “dipaksa” untuk menguasai semua mata pelajaran. Mereka dituntut untuk bisa memahami dan mendapatkan nilai yang bagus, walau harus disadari anak-anak didik tidak semua mampu dan mengusai materi, sebagaimana juga para guru-gurunya yang tidak memiliki kapasitas menguasai semua mapel.
  3. Guru dan sekolah lebih fokus pada kelemahan dan kekurangan, daripada kemampuan dan potensi anak didiknya, sehingga anak terlihat bodoh di satu atau dua mata pelajaran, walau dia punya banyak nilai yang bagus dimata pelajaran yang lainnya
  4. Guru dan sekolah berbuat “curang” dan “korupsi” dengan mengkatrol nilai, karena adanya tuntutan nilai KKM, tanpa kejujuran hasil nilai atas prestasi anak didiknya. Alasannya sederhana karena untuk menaikkan kelas atau meluluskan murid, dengan harapan bisa sekolah atau kuliah di tempat yang bagus, walau berkhianat atas kejujuran untuk sebuah nilai yang bukan sebenarnya.
  5. Lebih mengutamakan pendidikan “umum” dibandingkan pendidikan adab/moral, agama dan skill. Pendidikan umum bukan tidak penting, tapi lebih utama memperhatikan pendidikan adab/moral, karena kesuksesan dan kebahagiaan anak didik dimasa depan bukan dari nilai akademiknya, tapi pada nilai adab atau etikanya
  6. Tidak sedikit guru yang hanya bisa “menstansfer” pengetahuan daripada mengembangkan leterasi anak didiknya. Hal ini tidak sedikit guru yang hanya berbekal ijazah, sudah merasa bisa dan mampu memberikan pembelajaran. Sedangkan menjadi guru bukan sekedar pintar berbicara dalam menyampaikan materi, tapi mampu memahami, mempraktekkan, mencontohkan dan juag bisa memotivasi para anak didiknya
  7. Sebagian dana donasi baik dari pemerintah/swasta tidak dialokasikan sesuai amanahnya, dan terkadang berta’awun dalam istmi wal ‘udwan. Hal iniyang akan menghilangkan keberkahan ilmu, sehingga kalaupun sekolah tersebut melahirkan banyak anak-anak pintar, tapi tidak benar dalam pola pikir dan tingkah lakunya
  8. Kurangnya pemetaan untuk pengembangan minat, bakat dan kemampuan masing-masing anak didik, mulai dari IQ dan skillnya. Pendidik dan lembaga pendidikan tidak bisa menyamaratakan kemampuan dan skill semua anak didiknya, yang hanya diukur dari kesamaan usianya. Sehingga yang pintar akan selalu juara dan yang bodoh senantiasa harus gigit jari setiap akhir tahunnya.
  9. Sekolah tidak memiliki standar kelulusan yang jelas dan tersistem dengan tepat sesuai tujuan pendidikan nasional. Secara kontekstual tentunya ada standarnya, tapi jauh dari hasil yang diraihnya, karena mengukur nilai pribadi yang beriman dan bertaqwa saja sudah cukup membingungkan.
  10. Sekolah melahirkan karakter anak didik sebagai “buruh” kerja, bukan menciptakan lapangan kerja. Sehingga tidak sedikit sekolah yang menawarkan kelulusannya bisa langsung kerja, dan sekolah ini yang lebih laris dibandingkan sekolah lainnya, maka lahiriyah anak didik yang materialistis alias hubbub dunya.
  11. Diterimanya anak didik di PTN, sebagai barometer kesuksesan output dari lembaga pendidikan. tentu hal yang menyenangkan namun tidaklah menjanjikan kesuksesan apalagi kebahagiaan, karena banyak mahasiswa yang salah jurusan dan jadi sarjana pengangguran, belum lagi masalah kriminal dan asusila yang menjadi hal yang trend dikalangan pelajar atau mahasiswa. Hal ini sebab interaksi yang begitu bebas dan kurangnya kontrol sosial.
  12. Pendidikan sebagai ajang “bisnis” dengan profit oriented. Sehingga banyak lembaga berani hutang ke lembaga keuangan dengan sistem ribawi, hanya untuk memuaskan dan membangun gedung-gedung indah dan megah tanpa dibarengi sistem dan manajemen kurikulum yang baik dan tepat. Lembaga menjadi “sumber” dunia oriented jauh dari nilai akhirat oriented
  13. Lembaga pendidikan “rebutan” menjaring murid dengan mencitrakan kuantitas, tanpa mempertimbangkan kualitas. Hal ini berkaitan erat dengan point no 12, mereka lihai bersosialisasi dengan berbagai cara dan ragam program, mulai beasiswa sampai wisata dan janji manis, lulusannya bisa langsung kerja.
  14. Para orangtua menjadikan sekolah/lembaga pendidikan sebagai “laundry” sehingga kurang peka dalam mewujudkan harapan dan cita-cita putra-putrinya. Orangtua didik begitu saja “pasrah” dalam perkembangan pendidikan anaknya, ia tidak menyiapkan mental dan semangat belajar anaknya, tidak pula memberikan dukungan atas program lembaga pendidikan anaknya.
  15. Orangtua/walimurid kurang Ikhlas dan protek terhadap “hukuman” gurunya, bahkan tidak sedikit mempermasalahkannya. Sehingga ketika ada masalah dengan anaknya, guru dan lembaga dipermasalahkan, dan lebih jaub dari itu, guru dituntut dimeja hijau dari kesalahan yang tak sebanding dengan pengorbanan atas dedikasinya selama ini.

Point diatas bagian dari permasalahan lembaga dan pendidikan kita, hal diatas bukan untuk sekedar mengkritisi, namun lebih untuk menjadi perhatian, sehingga kita bisa mencari problem solvingnya, demi perubahan generasi kedepan yang lebih baik untuk ummat, bangsa dan negara. Wallohu ‘alam

Dan untuk kita yang saat ini sebagai pelajar, pendidik atau pengelola lembaga pendidikan, untuk diingat dan diperhatikan bahwasanya…!!

“HANCURNYA PERADABAN SUATU BANGSA, KARENA BURUK POLA SISTEM PENDIDIKANNYA.”

Similar Posts